Kualitas pendidikan kita dari tingkat dasar sampai tinggi belum
memuaskan. Untuk tingkat dasar sampai menengah, kualitas rendah
pendidikan kita ditandai dengan peringkat Programme for International
Student Assessment yang terus berada pada kisaran lima terendah dari
sekitar 60 negara sejak tahun 2000.
Untuk pendidikan tinggi, jumlah karya ilmiah kita masih kalah jauh
dengan jumlah karya ilmiah dari negara-negara tetangga di lingkup ASEAN.
Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah lewat berbagai kebijakan
dan program mulai dari perbaikan kurikulum, model pendanaan seperti
lewat dana bantuan operasional sekolah (BOS), program hibah kompetitif,
perbaikan kualitas guru/dosen melalui program sertifikasi, sampai dengan
pemberian otonomi ke beberapa perguruan tinggi negeri.
Sudah banyak usaha dan dana digunakan untuk memperbaiki kualitas
pendidikan kita, tetapi sebenarnya yang justru mendasar dan menjadi
kunci perbaikan kualitas tidak tersentuh oleh berbagai program tersebut.
Malahan dapat dikatakan bahwa kebijakan dan program yang dilakukan
pemerintah memperparahnya. Hal yang diperparah itu adalah formalisme
dalam pengelolaan pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan tingkat
tinggi.
Yang saya maksud dengan formalisme adalah pemberian perhatian atau
tekanan yang lebih besar pada aspek-aspek formal/legal kegiatan
pengelolaan pendidikan ketimbang aspek-aspek yang lebih bersifat
esensial dan penting terkait tujuan pendidikan. Tuntutan untuk memenuhi
aspek legal/formal ini justru selalu menjadi bagian penting dan
cenderung mendominasi setiap implementasi program perbaikan kualitas
pendidikan yang digulirkan pemerintah.
Dalam implementasi Kurikulum 2013, yang akhirnya menjadi kesibukan
utama para guru bukanlah melaksanakan model pembelajaran yang baik dan
integratif, melainkan justru mengolah nilai yang rumit dan rinci karena
menyangkut hampir semua aspek kehidupan siswa.
Begitu pula dalam pelaksanaan kegiatan penelitian yang didanai
pemerintah, para dosen sangat disibukkan dengan pembuatan laporan
keuangan yang sangat rinci dan bukan oleh kegiatan penelitian dan
diseminasi hasilnya. Dalam Laporan Kinerja Dosen, setiap kegiatan juga
harus disertai dengan surat tugas, bahkan bukti penulisan artikel di
jurnal internasional pun baru sah kalau ada surat tugasnya. Surat tugas
itu dibuat kapan dan oleh siapa tidak penting karena yang penting ada
dan dilampirkan.
Taraf akut
Kuatnya formalisme di dunia pendidikan kita sudah pada taraf akut,
bahkan sudah menjadi semacam ideologi bahwa hal itu menjamin kualitas
yang lebih baik. Padahal, dampaknya adalah pereduksian makna dan praktik
pendidikan ke wilayah formal legalistik. Pembelajaran tereduksi menjadi
perkara administrasi nilai. Penelitian berubah lebih menjadi perkara
pembuatan laporan keuangan. Demikian pula, kegiatan pemantauan dan
evaluasi kualitas pendidikan lebih berkutat pada perkara ketersediaan
dokumen dan pemenuhan peraturan.
Dengan formalisme ini akan menjadi jelas bagi kita semua mengapa
pelajaran seni lebih berupa kegiatan menghafal hal-hal terkait seni
karena pada akhir semester anak harus diuji secara formal pengetahuan
seninya. Saya membayangkan betapa menariknya pelajaran seni ketika anak
cukup diminta membawa alat musik yang paling disukai dan sekolah
membantu menguasainya. Tidak perlu ada ujian mata pelajaran seni, tetapi
semua anak lulus dan alangkah indahnya jika juga ada pentas yang
menampilkan aksi pertunjukan mereka.
Alangkah prihatinnya kita menyaksikan anak-anak menghafal jenis
tombol apa yang harus ditekan untuk menjalankan program komputer
tertentu. Betapa absurdnya pendidikan kita ketika anak-anak kelas IV SD
harus membaca teks padat kata-kata berbagai definisi tentang kelurahan,
kecamatan, sampai lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi.
Matematika dan Fisika yang mestinya menjadi pelajaran menarik dan
menantang menjadi sangat membosankan karena aspek formalisme komputasi
matematisnya yang justru menonjol dibandingkan dengan aspek pemecahan
masalahnya.
Wabah formalisme ini mengalir deras sampai ke pendidikan tinggi.
Dalam kegiatan seminar, memperoleh sertifikat sebagai pemakalah
merupakan hal yang paling utama, sedangkan kegiatan diskusi dan debat
tentang hasil penelitian cukup dilakukan sebagai basa-basi. Bahkan, ada
usul menjadi guru besar yang ditolak hanya karena secara rumus matematis
angka kreditnya kurang 0,4 dari syarat minimal 400. Padahal, dosen ini
sudah malang melintang di berbagai pertemuan ilmiah dunia.
Formalisme ini menjadi musuh utama kreativitas dan kejujuran di
sekolah. Padahal, sekolah harusnya menjadi tempat persemaian yang paling
ideal bagi tumbuhnya kreativitas dan kejujuran. Mereka yang mempunyai
kejujuran, ketulusan, dan kreativitas pasti akan tidak tahan menghadapi
kuatnya tuntutan formalisme. Mereka akan menyingkir dan mencari tempat
yang lebih sesuai. Pendidikan kita akhirnya kehilangan energi kreatif
dan terperosok masuk ke dunia yang penuh dengan basa-basi yang
memuakkan.
Sebenarnya peringatan akan dampak buruk dari formalisme ini pernah
disampaikan rektor kedua Universitas Indonesia (1951-1954) Prof R
Soepomo (Sulistyowati Irianto, 2012). Beliau mengingatkan bahwa
perguruan tinggi tidak boleh ditempatkan sebagai sebuah jawatan belaka
di bawah administrasi Kementerian Pendidikan. Jika demikian, perguruan
tinggi akan menyerahkan dirinya pada formalisme birokrasi dan sebagai
akibatnya akan membinasakan semangat akademik dan perkembangan
kehidupannya.
Jauhkan formalisme
Untuk itu formalisme harus sejauh mungkin dijauhkan dari dunia
pendidikan kalau kita berharap ada perbaikan kualitas secara signifikan.
Pemerintah sebagai pihak utama dalam pengelolaan pendidikan dapat
membantu meminimalkan formalisme ini. Dalam tugasnya menjamin dan
memfasilitasi perbaikan kualitas pendidikan, pemerintah sebaiknya
menggunakan instrumen yang pokok dan sederhana. Pemerintah sebaiknya
lebih positif dan percaya dalam memandang dan menempatkan institusi
pendidikan baik negeri maupun swasta.
Dengan cara pandang ini, institusi pendidikan harus diberi otonomi
yang lebih besar dalam pengelolaan kegiatannya. Pemerintah hanya perlu
fokus pada indikator keluaran kunci seperti kualitas lulusan, prestasi
institusi, serta karya dan kontribusi konkretnya. Aspek lain seperti
kelengkapan dokumen, pendanaan, serta model pengelolaan dipercayakan
sepenuhnya kepada institusi, lebih-lebih untuk institusi swasta.
Kalau pemerintah saat ini sedang mengusung tema besar "Revolusi
Mental", bagi dunia pendidikan kita, revolusi mental itu paling tepat
kita wujudkan dengan mengikis mental formalisme. Mentalitas formalistik
bertentangan dengan arus utama abad ini yang justru diwarnai
demokratisasi, bebas struktur, dan partisipatif sebagaimana terjadi
dalam dunia internet. Pemerintah harus dan dapat menjadi pihak yang
paling utama menyingkirkan formalisme ini dan jangan justru kelemahan
dan kelambanan birokrasinya menyuburkan mental dan praktik formalisme
ini.
Johanes Eka Priyatma
Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Advertisement
EmoticonEmoticon