Para guru dan dosen sekarang mulai dapat berbahagia. Pemerintah menyelenggarakan program sertifikasi guru dan dosen untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Benarkah demikian? Apa yang terjadi di lapangan?
Terhitung mulai bulan Oktober 2007 ini, para guru yang lulus program sertifikasi akan memperoleh tunjangan profesi yang besarnya 1 kali gaji pokok. Syaratnya guru harus mengajukan portofolio yang isinya rekaman kegiatan mengajar guru selama inSyarat dan berkas yang harus dilampirkan pun cukup mudah. Tampaknya pemerintah serius dan benar-benar bertekad untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi apa yang terjadi di lapangan?
Seharusnya semua guru berlomba-lomba untuk mengajukan portofolio agar dapat lulus sertifikasi. Tapi fakta menyebutkan bahwa dari jatah yang diterima setiap kabupaten, ternyata jumlah pendaftar masih kurang, bahkan jumlahnya kurang dari kuota. Apakah para guru ini tidak ingin memperoleh tunjangan profesi. Guru bukanlah golongan masyarakat yang kaya atau kemampuan ekonomi tinggi. Tentu saja mereka sebenarnya ingin juga memperoleh tambahan penghasilan yang dinamakan tunjangan profesi tadi. Tapi mengapa mereka banyak yang tidak mengikuti sertifikasi.
Saya melakukan riset dan wawancara kecil dengan sejumlah guru berkenaan dengan program sertifikasi ini. Dari hasil wawancara tersebut diharapkan terungkap apa kendala sehingga mereka tidak mengikuti sertifikasi.
Pertama saya berbicara dengan seorang guru muda, masih fressh, berdedikasi tinggi sehingga ditempatkan oleh Dinas Pendidikan ke daerah sangat terpencil. Setelah ditanya mengapa tidak ikut sertifikasi? sang guru muda menjawab: saya belum memiliki informasi yang jelas tentang maksud, tujuan, dan syarat-syarat sertifikasi guru. Sebetulnya dia ingin sekali ikut program sertifikasi, tapi karena sebagian waktunya habis tersita untuk mengajar di daerah terpencil maka dia tidak memiliki informasi yang cukup tentang sertifkasi guru tersebut.
Kedua saya berbincang dengan seorang guru muda juga, tapi nasibnya lebih baik dari guru di atas. Dia ditempatkan di perkotaan. Anehnya dia juga tidak ikut sertifikasi. Setelah ditanya, dia tampaknya memiliki cukup informasi tentang sertifikasi guru ini. Tapi kendala yang dia hadapi adalah lama masa tugas dan jumlah point angka kredit yang akan dia peroleh. Menurut informasi yang dia terima, untuk mengikuti sertifikasi guru minimal lama mengajar 10 tahun. Sedangkan ia baru mengajar 4 tahun. Selain itu jumlah minimal point penilaian portofolio katanya harus 800 angka kredit sertifikasi. Setelah di hitung-hitung katanya belum mencapai separuhnya. Akhirnya dia tidak jadi mengikuti program sertifikasi guru. Setengah bercanda dia mengatakan: "Biarlah saya tidak ikut sertifikasi guru tahun ini, kasihan guru yang lebih senior/tua. Biarlah mereka yang maju duluan".
Benarkah syarat program sertifikasi guru demikian. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Berdasarkan panduan sertifkasi guru dari dirjen Dikti persyaratan sertifiaksi guru meliputi: (1) masa kerja/pengalaman mengajar, (2) usia, (3) pangkat/golongan (bagi PNS), (4) beban mengajar, (5) jabatan/tugas tambahan, dan (6) prestasi kerja. Oleh karena sistem kouta tentu saja guru yang berada pada peringkat nilai di atas yang akan di prioritaskan. Tidak ada tertera syarat mengajar minimal sudah 10 tahun atau jumlah point harus 800.
Ada lagi guru yang lebih senior (pen: tua) yang setelah diwawancarai ternyata juga tidak mengikuti sertifikasi. Menurut beliau syaratnya sulit untuk di penuhi. Banyak berkas dokumen yang tidak dapat beliau siapkan. Maklum masih banyak guru yang tidak memiliki dokumentasi mengajar yang baik. Sehingga setelah diperlukan, mereka kelabakan mencari berkas mengajar tersebut. Kasihan juga pak guru ini, padahal beliau tinggal beberapa tahun saja lagi sudah pensiun. Ingin merasakan tunjangan profesi tapi tidak dapat memenuhi syarat-syarat dokumen sertifikasi.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, tampaknya sosialisasi maksud, tujuan dan syarat-syarat sertifikasi guru masih belum maksimal. Terbukti masih ada guru yang tidak mengetahui tentang seluk-beluk program pemerintah ini.
Fakta lain yang terungkap adalah, syarat untuk lulus program sertifikasi bagi sebagian guru masih dirasa cukup memberatkan. Akhirnya dengan terpaksa mereka mundur teratur, padahal keinginan untuk mendapatkan tunjangan profesi cukup besar.
Ketiga, terlihat bahwa pemerintah masih membatasi jumlah guru yang diikutsertakan dalam program sertifikasi, entah karena tidak mempunyai anggaran yang cukup. Atau sebab lain hanya mereka yang tahu.
Dengan adanya batasan jumlah guru yang mengikuti sertifikasi ini, tentu akan ada guru yang lulus dan ada guru yang belum mengikuti sertifikasi. Hal ini bisa menimbulkan kesenjangan pendapatan antara guru yang memperoleh tunjangan profesi dan yang belum. Akibatnya akan ada rasa iri, rasa kecemburuan sosial, bahkan masalah dalam pembagian tugas mengajar.
Terhitung mulai bulan Oktober 2007 ini, para guru yang lulus program sertifikasi akan memperoleh tunjangan profesi yang besarnya 1 kali gaji pokok. Syaratnya guru harus mengajukan portofolio yang isinya rekaman kegiatan mengajar guru selama inSyarat dan berkas yang harus dilampirkan pun cukup mudah. Tampaknya pemerintah serius dan benar-benar bertekad untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tapi apa yang terjadi di lapangan?
Seharusnya semua guru berlomba-lomba untuk mengajukan portofolio agar dapat lulus sertifikasi. Tapi fakta menyebutkan bahwa dari jatah yang diterima setiap kabupaten, ternyata jumlah pendaftar masih kurang, bahkan jumlahnya kurang dari kuota. Apakah para guru ini tidak ingin memperoleh tunjangan profesi. Guru bukanlah golongan masyarakat yang kaya atau kemampuan ekonomi tinggi. Tentu saja mereka sebenarnya ingin juga memperoleh tambahan penghasilan yang dinamakan tunjangan profesi tadi. Tapi mengapa mereka banyak yang tidak mengikuti sertifikasi.
Saya melakukan riset dan wawancara kecil dengan sejumlah guru berkenaan dengan program sertifikasi ini. Dari hasil wawancara tersebut diharapkan terungkap apa kendala sehingga mereka tidak mengikuti sertifikasi.
Advertisement
Pertama saya berbicara dengan seorang guru muda, masih fressh, berdedikasi tinggi sehingga ditempatkan oleh Dinas Pendidikan ke daerah sangat terpencil. Setelah ditanya mengapa tidak ikut sertifikasi? sang guru muda menjawab: saya belum memiliki informasi yang jelas tentang maksud, tujuan, dan syarat-syarat sertifikasi guru. Sebetulnya dia ingin sekali ikut program sertifikasi, tapi karena sebagian waktunya habis tersita untuk mengajar di daerah terpencil maka dia tidak memiliki informasi yang cukup tentang sertifkasi guru tersebut.
Kedua saya berbincang dengan seorang guru muda juga, tapi nasibnya lebih baik dari guru di atas. Dia ditempatkan di perkotaan. Anehnya dia juga tidak ikut sertifikasi. Setelah ditanya, dia tampaknya memiliki cukup informasi tentang sertifikasi guru ini. Tapi kendala yang dia hadapi adalah lama masa tugas dan jumlah point angka kredit yang akan dia peroleh. Menurut informasi yang dia terima, untuk mengikuti sertifikasi guru minimal lama mengajar 10 tahun. Sedangkan ia baru mengajar 4 tahun. Selain itu jumlah minimal point penilaian portofolio katanya harus 800 angka kredit sertifikasi. Setelah di hitung-hitung katanya belum mencapai separuhnya. Akhirnya dia tidak jadi mengikuti program sertifikasi guru. Setengah bercanda dia mengatakan: "Biarlah saya tidak ikut sertifikasi guru tahun ini, kasihan guru yang lebih senior/tua. Biarlah mereka yang maju duluan".
Benarkah syarat program sertifikasi guru demikian. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi sebagai suatu kesatuan upaya pemberdayaan guru. Berdasarkan panduan sertifkasi guru dari dirjen Dikti persyaratan sertifiaksi guru meliputi: (1) masa kerja/pengalaman mengajar, (2) usia, (3) pangkat/golongan (bagi PNS), (4) beban mengajar, (5) jabatan/tugas tambahan, dan (6) prestasi kerja. Oleh karena sistem kouta tentu saja guru yang berada pada peringkat nilai di atas yang akan di prioritaskan. Tidak ada tertera syarat mengajar minimal sudah 10 tahun atau jumlah point harus 800.
Ada lagi guru yang lebih senior (pen: tua) yang setelah diwawancarai ternyata juga tidak mengikuti sertifikasi. Menurut beliau syaratnya sulit untuk di penuhi. Banyak berkas dokumen yang tidak dapat beliau siapkan. Maklum masih banyak guru yang tidak memiliki dokumentasi mengajar yang baik. Sehingga setelah diperlukan, mereka kelabakan mencari berkas mengajar tersebut. Kasihan juga pak guru ini, padahal beliau tinggal beberapa tahun saja lagi sudah pensiun. Ingin merasakan tunjangan profesi tapi tidak dapat memenuhi syarat-syarat dokumen sertifikasi.
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, tampaknya sosialisasi maksud, tujuan dan syarat-syarat sertifikasi guru masih belum maksimal. Terbukti masih ada guru yang tidak mengetahui tentang seluk-beluk program pemerintah ini.
Fakta lain yang terungkap adalah, syarat untuk lulus program sertifikasi bagi sebagian guru masih dirasa cukup memberatkan. Akhirnya dengan terpaksa mereka mundur teratur, padahal keinginan untuk mendapatkan tunjangan profesi cukup besar.
Ketiga, terlihat bahwa pemerintah masih membatasi jumlah guru yang diikutsertakan dalam program sertifikasi, entah karena tidak mempunyai anggaran yang cukup. Atau sebab lain hanya mereka yang tahu.
Dengan adanya batasan jumlah guru yang mengikuti sertifikasi ini, tentu akan ada guru yang lulus dan ada guru yang belum mengikuti sertifikasi. Hal ini bisa menimbulkan kesenjangan pendapatan antara guru yang memperoleh tunjangan profesi dan yang belum. Akibatnya akan ada rasa iri, rasa kecemburuan sosial, bahkan masalah dalam pembagian tugas mengajar.
EmoticonEmoticon